01 Juli 2009

PENGARUH MANAJEMEN GLOBAL DAN MANAJEMEN TRADISIONAL BERDAMPAK KEPEMIMPINAN YANG LOYAL

Globalisasi perekonomian telah menjadi hard fact bagi semua negara termasuk berlaku di negara–negara sedang berkembang (NSB). Bagi sebagian negara, terutama bagi negara industri maju (NIM) telah mendatangkah berkah. Namun bagi sebagian besar lainnya, terutama sebagian besar NSB belum banyak mambawa manfat, bahkan tak sedikit menimbulkan bencana baik berupa makin membengkaknya kemiskinan dan pengangguran serta menajamnya ketimpangan. Namun bersamaan pula makin marak dan canggihnya kualitas kejahatan (tindak pidana) baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk tidak pidana ekonomi. Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana kepentingan Indonesia dengan memahami latar belakang dan economic, social and historical setting terjadinya globalisasi, dampak positif dan negatifnya globalisasi, kewaspadaan menghadapi globalisasi, dampak globalisasi terhadap perekonomian terutama bagi Indonesia dan dampak globalisasi dalam bentuk kejahatan ekonomi internasional.

’Global Bubble Economy’

Semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya periode perang dingin awal dekade 80-an, praktis secara politik dunia memasuki periode Pax-Americana. Yakni semua negara mau tak mau harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik dan militer AS beserta sekutu-sekutunya (tergabung dalam G-7). Dan hal ini juga membawa konsekuensi secara ekonomi. Dunia juga masuk secara monolitik ke dalam sistem perekonomian neo-liberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya ke dalam organisasi World Trade Organization (WTO). Jika ditilik secara intensif, maka kita melihat bagaimana azas neoliberalisme mendominasi dalam spirit WTO di mana praktis lembaga tersebut telah menjadi ’wasit’ dalam proses globalisasi. Ini mengingat jargon the borderless world yang mereka implementasikan dalam aturan WTO. Yakni semua negara yang telah meratifikasikan pelbagai aturan yang tercantum dalam WTO, antara lain terpenting bahwa semua negara harus menghilangkan semua hambatan perdagangan – baik tarif maupun non-tarif) dengan jadwal keharusan pelaksanaannya yang sangat ketat beserta sanksi yang keras jika sebuah negara tak mentaatinya.

Dengan begitu, berarti semua negara nantinya tanpa kecuali harus siap bersaing secara bebas dalam perdagangan internasional. Dengan harga dan kualitas barang dan jasa yang mereka hasilkan, mereka harus bersaing tanpa perlindungan (proteksi tariff maupun non-tarif) dan subsidi apa pun kecuali untuk hal-hal yang sangat terbatas, misalnya bantuan untuk pelatihan bagi kalangan SME (small and medium enterprises).

Juga dalam ’era WTO’ ini, berarti azas neoliberalisme cenderung mengabaikan keragaman kemampuan antara negara dalam level of playing field. Padahal dengan prinsip tersebut, bahwa persaingan hanya akan menghasilkan kemakmuran bersama (prinsip pareto optimality/positive some game) jika diciptakan suatu kesamaan level dalam kemampuan masing-masing peserta/pelaku kegiatan ekonomi.

Di era globalisasi ini, sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan cara mencari terobosan dengan menanamkan sedini mungkin tentang nilai-nilai kewirausahaan terutama bagi kalangan terdidik, terlebih lagi bagi warga Perguruan Tinggi. Penanaman nilai-nilai kewirausahaan bagi banyak orang diharapkan bisa menumbuhkan jiwa kreatifitas untuk berbisnis atau berwirausaha sendiri dan tidak tergantung pada pencarian kerja yang semakin hari ketat persaingannya. Kreatifitas ini sangat dibutuhkan bagi orang yang berjiwa kewirausahaan agar mampu mengindentifikasi peluang usaha yang kemudian mendayagunakannya untuk menciptakan peluang usaha baru.

Nilai-nilai kewirausahaan sangat penting bagi orang yang akan memulai usaha, sehingga pengusaha akan berusaha untuk menciptakan inovasi dalam bisnis yang dijalankan sehingga produk yang dihasilkan bisa diterima dipasaran sebagai produk unggulan yang dicari konsumen. Di era global ini, persaingan di antara sesama pebisnis atau pengusaha sangat ketat dan variatif baik persaingan di skala local, regional ,nasional maupun internasional. Maka pebisnis atau perusahaan menekankan pada inovasi yang penuh kreatifitas yang akan bisa bersaing, bertahan, unggul dan mempunyai nilai lebih. Nilai lebih tersebut yaitu wirausaha harus memiliki kemampuan dalam hal berhubungan dengan masyarakat lainnya (interaksi), kemampuan dalam hal memasarkan barang, keahlian mengatur, serta sikap terhadap uang.

Seseorang memiliki minat berwirausaha karena adanya suatu motif tertentu, yaitu motif berprestasi. Motif ini ialah suatu nilai social yang menekankan pada hasrat untuk mencapai yang terbaik guna mencapai kepuasan secara pribadi. Faktor dasarnya adalah adanya kebutuhan yang harus dipenuhi.

Menurut Drucker (1997), kewirausahaan (entrepreneurship) adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Bahkan, enterpreneurship secara sederhana sering juga diartikan sebagai prinsip kemampuan wirausaha (Soedjono, 1993 ;Meredith, 1996 ;Usman, 1997).

Zimmerrer (1996) menyatakan : kewirausahaan adalah penerapan kretifiitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang di hadapi setiap hari. Kewirausahaan adalah merupakan gabungan antara kreatifitas, inovasi, dan keberanian menghadapi risiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Kreatifitas oleh Zimmerer diartikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara-cra baru dalam memecahkan persoalan dan menghadapi peluang (creativity is the ability to develop new ideas and to discover new ways of looking at problems and opportunities).

Sedangkan, inovasi diartikan sebagi kemampuan untuk menerapkan kreatifitas dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan dan peluang untuk meningkatkan dan memperkaya kehidupan (inovation is the ability to apply creative solutions to those problems and opportunities to enhance or to enrich people’s live) sedangkan menurut levitt kreativitas adalah thinking new things (berpikir sesuatu yang baru). Sedangkan inovasi aadalah doing new things (melakukan sesesuatu yang baru). Keberhasilan wirausaha akan tercapai apabila berfikir dan melakukan sesuatu yang baru atau sesuatu yang lama yang dilakukan dengan cara yang baru (thinking and doing new things or old thing in new ways).

Dengan munculnya jiwa wirausaha diharapkan akan terbentuk sebuah mindset (pola pikir) menjadi seorang pengusaha yang mampu menciptakan lapangan kerja, selain itu diharapkan seseorang akan lebih memahami potensi dirinya sehingga akan memiliki visi dan masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih menyenangkan. Dengan memahami potensinya menurut Harefa, (2000) maka akan terbentuk sikap-sikap :

- digerakkan oleh ide dan impian,

- lebih mengandalkan kreativitas,

- menunjukkan keberanian,

- percaya pada hoki, tapi lebih percaya pada usaha nyata,

- melihat masalah sebagai peluang,

- memilih usaha sesuai hobi dan minat,

- mulai dengan modal seadanya,

- senang mencoba hal baru,

- selalu bangkit dari kegagalan,

- tak mengandalkan gelar akademis.

Definisi Kepemimpinan

Ada baiknya apabila kita awali pemahaman kita mengenai kepemimpinan ini dengan mengeksplorasi ulang secara singkat pengertian, perbedaan, dan saling hubungan antara pemimpin dan manajer, serta antara kepemimpinan dan manajemen. Pertama, mengenai pemimpin dan manajer. Beberapa buku tentang kepemimpinan mengemukakan bahwa perbedaan antara pemimpin dan manajer tampak dari kompetensi atau pun perannya masing-masing; yaitu: pemimpin adalah orang yang dapat menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan; sedangkan manajer adalah orang yang dapat mengerjakan secara benar semua tugas dan tanggung jawab yang ditentukan. Leaders are people who do the right thing; sedangkan managers are people who do the things right (lihat antara lain Warren Bennis, 2000; p.6). Sementara itu, Zales Nick (1977) membedakan antara managers dan leaders sebagai berikiut. Leaders think about goals in a way that creates images and expetations about the direction a bussiness should take. Leaders influence changes in the way people think about what is desireable, prosible or necessary”; sedangkan managers, on the other hand tend to view work as a means of achieving goals based on the action taken by workers”.

Dalam membandingkan antara pemimpin dan manajer, Robert Heller meng-identifikasi perbedaan-perbedaan berikut. Pemimpin mempunyai karakteristik “administer, originite, develop, inspire trust, think long terms, ask what and why, watch the horizon, challenge status quo, are their own people, do the right thing”; sedangkan manajer mempunyai karakteristik “implement, copy, maintain, control, think short term, ask how and whwn, watch bottom line, accept status quo, are good soldiers, do the things right” (Robert Heller, 1999). Tokoh lain, Trompenaars dan Hampden-Turner (2001; p.2) secara atraktif membedakan keduanya dengan ungkapan “The main difference between managers and leaders is that some managers cannot sleep because they have not met their objectives, while some leaders cannot sleep because they various objectives appears to be inconflict and they cannot reconcile them”; dan dengan penuh humor menambahkan “It goes without saying that when objectives clash and impede one another, they will be difficult to attain, and no one will sleep”.

Kedua, mengenai kepemimpinan dan manajemen. Kepemimpinan dan manajemen adalah 2 (dua) konsep yang berbeda namun saling melengkapi, bukan mengganti. Persamaannya terletak pada pencapaian keberhasilan atau sukses organisasi. Sedangkan perbedaannya terletak pada fungsi dan aktivitasnya. Kepemimpinan berkaitan dengan penanggulangan perubahan; sedangkan manajemen berkaitan dengan penganggulangan kompleksitas (Kotter, 1991).

Beranjak dari rumusan pemimpin di atas secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk memimpin; kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Menurut Gibson (1998), kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, yang dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai tujuan. Newstrom & Davis (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mengatur dan membantu orang lain agar bekerja dengan benar untuk mencapai tujuan. Sedangkan Stogdill (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan juga merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok, dengan maksud untuk mencapaia tujuan dan prestasi kerja. Oleh karena itu, kepemimpinan dapat dipandang dari pengaruh interpersonal dengan memanfaatkan situasi dan pengarahan melalui suatu proses komunikasi ke arah tercapainya tujuan khusus atau tujuan lainnya (Tanenbaum, Weschler & Massarik, 1981). Pernyataan ini mengandung makna bahwa kepemimpinan terdiri dari dua hal yakni proses dan properti. Proses dari kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh secara tidak memaksa, untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan dari para anggota yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Properti dimaksudkan, bahwa kepemimpinan memiliki sekelompok kualitas dan atau karakteristik dari atribut-atribut yang dirasakan serta mampu mempengaruhi keberhasilan pegawai (Vroom & Jago, 1988). Secara praktis, kepemimpinan dirumuskan sebagai suatu seni memobilisasi orang-orang lain (bawahan dan pihak lain) pada suatu upaya untuk mencapai aspirasi dan tujuan organisasi.

John Adair pada 1988, (dalam Karol Kennedy, 1998) mengemukakan perbedaan keduanya secara ekstrim dengan menyatakan bahwa “Leadership is about a sense of direction. The word lead comes from Anglo-Saxon word, common to north European languages, which means a road, a way, the path of a ship at sea. It’s knowing the next step is……Sedangkan “Managing is a different image. It’s from the Latin manus, a hand. It’s handling a sword, a ship, a horse. It tends to be closely linked with the idea of machines. Managing had its origins in the 19th century with engineers and accountants coming in to run entrepreneurial outfits. They tended to think of them as systems”. Adair mendefinisikan kepemimpinan dalam tiga konsep “Task, Team, and Individual” dalam lingkaran saling terkait, sehingga merupakan satu kesatuan konsep ACL (Action-Centered Leadership); dan menyatakan “… leadership is about teamwork, creating teams. Teams tend to have leaders, leaders tend to create teams”. Adair berkeyakinan bahwa working groups atau teams akan memberikan tiga kontribusi pada pemenuhan kebutuhan bersama, berupa “the need to accomplish a common task, the need to be maintained as acohesive social unit or team, and the sum of the groups’s individual needs”; serta mengidentifikasi enam fungsi kepemimpinan berikut : [1] Planning (seeking all available information; defining groups tasks or goals; making a workable plan); [2] Initiating (briefing the group; allocating tasks; setting groups standards); [3] Controlling (maintaining groups standard; ensuring progress towards objectives; ‘prodding’ action sand decisions); [4] Supporting (expressing acceptance of individual contributions; encouraging and disciplining; creating team spirit; relieving tension with humour; reconciling disagreements); [5] Informing (clarifying task and plan; keeping group informed; receiving information from the group; summarizing ideas and suggestions); dan [6] Evaluating (checking feasibility of ideas; testing consequencies; evaluating group perfomance; helping group to evaluate itself). Dalam pada itu Zwell (2000) mengidentifikasi sekurangnya 15 fungsi yang secara umum dilakukan oleh pemimpin, yaitu : modeling the corporate culture, developing the corporate philosophy, establishing and maintaining atandards, understanding the business, determining strategic direction, managing change, being agood follower : aligning with superior, inspiring and motivating, establishing elignment, establishing focus, holding ultimate responsibility, dealing with authority issues, determining successors, managing ambiguity, and optimizing orgaizational structure and process.

Dibalik fungsi-fungsi tersebut terdapat tugas dan peran kepemimpinan. Dalam hubungan itu, pada tahun 1990 John P. Kotter pada satu pihak mengidentifikasi tiga tugas prinsipil kepemimpinan, yaitu (1) Establishing direction, developing a vision and strategies for the future of the business; (2) Aligning people - getting others to ‘understand, accept and line up in the chosen direction’, dan (3) Motivating and inspiring people by appealing to very basic but often untapped human needs, value and emotions. Pada lain pihak, ia pun mendefinisikan empat peran manajemen berikut, (1) Planning and budgeting, setting short-to medium-term targets; (2) Establishing steps to reach them and allocating resources; (3) Organizing and staffing, establishing an organizational structure to accomplish the plan, staffing the jobs; communicating the plan, delegating responsibility and establishing systems to monitor implementatio; dan (4) Controlling and problem solving, monitoring results, identifying problems and organizing to solve them (lihat Karol Kennedy, 1998; p. 117). Dari sini kita dapat mencatat kesamaan antara fungsi kepemimpinan Adair dengan peran manajemen dari Kotter.

2. Perkembangan Paradigma Kepemimpinan :

Gaya, Tipologi, Model, Dan Teori Kepemimpinan

Jenis, gaya, dan ciri yang menandai perkembangan kepemimpinan masa lalu dapat dilihat dari pengetahuan atau pun teori kepemimpinan yang berkembang dalam kurun waktu tersebut. Abad 20 baru saja berlalu. Kita dapat mencatat sejarah kemanusiaan yang penuh dinamika perubahan di abad itu; termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tak terkecuali perkembangan pengetahuan tentang paradigma kepemimpinan yang dapat meliputi gaya kepemimpinan, tipologi kepemimpinan, model-model kepemimpinan, dan teori-teori kepemimpinan. Sekalipun secara konseptual pada ketiganya terdapat perbedaan, namun sebagai telaan mengenai substansi yang sama akan terdapat korelasi bahkan interdependensi antar ketiganya.

a. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.

Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.

Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.

Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.

Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.

Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s).

Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.

Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.

b. Tipologi Kepemimpinan

Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).

Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.

Tipe Militeristis. Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.

Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.

Tipe Karismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.

Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.

Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.

c. Model Kepemimpinan.

Model kepemimpinan didasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang yang berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa model yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah sebagai berikut.

Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.

Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.

Namun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis yang berorientasi pada hubungan. (Lihat Gambar 1).

Model Kepemimpinan Ohio. Dalam penelitiannya, Universitas Ohio melahirkan teori dua faktor tentang gaya kepemimpinan yaitu struktur inisiasi dan konsiderasi (Hersey dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota kelompok kerja dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi, dan metode atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Adapun konsiderasi mengacu kepada perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan). Adapun contoh dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan waktu untuk menyimak anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan perubahan, dan pemimpin bersikap bersahabat dan dapat didekati. Sedangkan contoh untuk faktor struktur inisiasi misalnya pemimpin menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok, pemimpin meminta anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar, dan pemimpin memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan dari mereka. Kedua faktor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut dalam implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model kepemimpinan yang rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b) model kepemimpinan yang tinggi konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang tinggi konsiderasinya tetapi rendah struktur inisiasinya, dan (d) model kepemimpinan yang rendah konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya. (Lihat Gambar 2)

Model Kepemimpinan Likert (Likert’s Management System). Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem otoriter, otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan partisipatif. Penjelasan dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang disajikan pada bagian berikut ini.

Sistem Otoriter (Sangat Otokratis). Dalam sistem ini, pimpinan menentukan semua keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan memerintahkan semua bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga menentukan standar pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam menjalankan pekerjaannya, pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan hukuman. Oleh karena itu, hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam sistem adalah saling curiga satu dengan lainnya.

Sistem Otoriter Bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan dengan sistem sebelumnya adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan dalam menetapkan standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan. Selain itu, pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian dan bahkan hadiah ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun demikian, pada sistem inipun, sikap pemimpin yang selalu memerintah tetap dominan.

Sistem Konsultatif. Kondisi lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya pola komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam menerapkan kepemimpinannya cenderung lebih bersifat menudukung. Selain itu sistem kepemimpinan ini juga tergambar pada pola penetapan target atau sasaran organisasi yang cenderung bersifat konsultatif dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada tingkatan tertentu.

Sistem Partisipatif. Pada sistem ini, pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan dan memberikan kepercayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu melibatkan bawahan. Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi adalah pola dua arah dengan memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengungkapkan seluruh ide ataupun permasalahannya yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan.

Dengan demikian, model kepemimpinan yang disampaikan oleh Likert ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari model-model yang dikembangkan oleh Universitasi Ohio, yaitu dari sudut pandang struktur inisasi dan konsiderasi.

Model Kepemimpinan Managerial Grid. Jika dalam model Ohio, kepemimpinan ditinjau dari sisi struktur inisiasi dan konsideransinya, maka dalam model manajerial grid yang disampaikan oleh Blake dan Mouton dalam Robbins (1996) memperkenalkan model kepemimpinan yang ditinjau dari perhatiannya terhadap tugas dan perhatian pada orang. Kedua sisi tinjauan model kepemimpinan ini kemudian diformulasikan dalam tingkatan-tingkatan, yaitu antara 0 sampai dengan 9. Dalam pemikiran model managerial grid adalah seorang pemimpin selain harus lebih memikirkan mengenai tugas-tugas yang akan dicapainya juga dituntut untuk memiliki orientasi yang baik terhadap hubungan kerja dengan manusia sebagai bawahannya. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak dapat hanya memikirkan pencapaian tugas saja tanpa memperhitungkan faktor hubungan dengan bawahannya, sehingga seorang pemimpin dalam mengambil suatu sikap terhadap tugas, kebijakan-kebijakan yang harus diambil, proses dan prosedur penyelesaian tugas, maka saat itu juga pemimpin harus memperhatikan pola hubungan dengan staf atau bawahannya secara baik. Menurut Blake dan Mouton ini, kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi empat kecenderungan yang ekstrim dan satu kecenderungan yang terletak di tengah-tengah keempat gaya ekstrim tersebut. Gaya kepemimpinan tersebut adalah : (Lihat Gambar 3)

Grid 1.1 disebut Impoverished leadership (Model Kepemimpinan yang Tandus), dalam kepemimpinan ini si pemimpin selalu menghidar dari segala bentuk tanggung jawab dan perhatian terhadap bawahannya.

Grid 9.9 disebut Team leadership (Model Kepemimpinan Tim), pimpinan menaruh perhatian besar terhadap hasil maupun hubungan kerja, sehingga mendorong bawahan untuk berfikir dan bekerja (bertugas) serta terciptanya hubungan yang serasi antara pimpinan dan bawahan.

Grid 1.9 disebut Country Club leadership (Model Kepemimpinan Perkumpulan), pimpinan lebih mementingkan hubungan kerja atau kepentingan bawahan, sehingga hasil/tugas kurang diperhatikan.

Grid 9.1 disebut Task leadership (Model Kepemimpinan Tugas), kepemimpinan ini bersifat otoriter karena sangat mementingkan tugas/hasil dan bawahan dianggap tidak penting karena sewaktu-waktu dapat diganti.

Grid 5.5 disebut Middle of the road (Model Kepemimpinan Jalan Tengah), di mana si pemimpin cukup memperhatikan dan mempertahankan serta menyeimbangkan antara moral bawahan dengan keharusan penyelesaian pekerjaan pada tingkat yang memuaskan, di mana hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat kebapakan.

Berdasakan uraian di atas, pada dasarnya model kepemimpinan manajerial grid ini relatif lebih rinci dalam menggambarkan kecenderungan kepemimpinan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya model ini merupakan pandangan yang berawal dari pemikiran yang relatif sama dengan model sebelumnya, yaitu seberapa otokratis dan demokratisnya kepemimpinan dari sudut pandang perhatiannya pada orang dan tugas.

Model Kepemimpinan Kontingensi. Model kepemimpinan kontingensi dikembang-kan oleh Fielder. Fielder dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung pada situasi di mana pemimpin bekerja. Menurut model kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang cenderung menentukan apakah situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak. Ketiga variabel utama tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota kelompok (hubungan pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas); dan kekuasaan dan kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi).

Berdasar ketiga variabel utama tersebut, Fiedler menyimpulkan bahwa : para pemimpin yang berorientasi pada tugas cenderung berprestasi terbaik dalam situasi kelompok yang sangat menguntungkan maupun tidak menguntungkan sekalipun; para pemimpin yang berorientasi pada hubungan cenderung berprestasi terbaik dalam situasi-situasi yang cukup menguntungkan.

Dari kesimpulan model kepemimpinan tersebut, pendapat Fiedler cenderung kembali pada konsep kontinum perilaku pemimpin. Namun perbedaannya di sini adalah bahwa situasi yang cenderung menguntungkan dan yang cenderung tidak menguntungkan dipisahkan dalam dua kontinum yang berbeda. (Lihat Gambar 4).

Model Kepemimpinan Tiga Dimensi. Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Redin. Model tiga dimensi ini, pada dasarnya merupakan pengembangan dari model yang dikembangkan oleh Universitas Ohio dan model Managerial Grid. Perbedaan utama dari dua model ini adalah adanya penambahan satu dimensi pada model tiga dimensi, yaitu dimensi efektivitas, sedangkan dua dimensi lainnya yaitu dimensi perilaku hubungan dan dimensi perilaku tugas tetap sama.

Intisari dari model ini terletak pada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan kombinasi perilaku hubungan dan perilaku tugas dapat saja sama, namun hal tersebut tidak menjamin memiliki efektivitas yang sama pula. Hal ini terjadi karena perbedaan kondisi lingkungan yang terjadi dan dihadapi oleh sosok pemimpin dengan kombinasi perilaku hubungan dan tugas yang sama tersebut memiliki perbedaan. Secara umum, dimensi efektivitas lingkungan terdiri dari dua bagian, yaitu dimensi lingkungan yang tidak efektif dan efektif. Masing-masing bagian dimensi lingkungan ini memiliki skala yang sama 1 sampai dengan 4, dimana untuk lingkungan tidak efektif skalanya bertanda negatif dan untuk lingkungan yang efektif skalanya bertanda positif. (Lihat Gambar 5).

d. Teori Kepemimpinan.

Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory). Dikemukakan, setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu, demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran tertentu. Dengan demikian kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota kelompoknya.

Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu (White, Hudgson & Crainer, 1997). Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah.

Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan. Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertanggungjawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga bertanggungjawab terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial kemasyarakatan atau akuntabilitas publik.

Dari sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya teori-teori kepemimpinan mencoba menerangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang terlibat dalam pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan. Penelitian tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik, karena teori banyak membantu dalam mendefinisikan dan menentukan masalah-masalah penelitian. Dari penelusuran literatur tentang kepemimpinan, teori kepemimpinn banyak dipengaruhi oleh penelitian Galton (1879) tentang latar belakang dari orang-orang terkemuka yang mencoba menerangkan kepemimpinan berdasarkan warisan. Beberapa penelitian lanjutan, mengemukakan individu-individu dalam setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi, dan kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh individu yang benar-benar superior.

Perkembangan selanjutnya, beberapa ahli teori mengembangkan pandangan kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat. Dua hipotesis yang dikembangkan tentang kepemimpinan, yaitu ; (1) kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung kepada situasi kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994).

Dua teori yaitu Teori Orang-Orang Terkemuka dan Teori Situasional, berusaha menerangkan kepemimpinan sebagai efek dari kekuatan tunggal. Efek interaktif antara faktor individu dengan faktor situasi tampaknya kurang mendapat perhatian. Untuk itu, penelitian tentang kepemimpinan harus juga termasuk ; (1) sifat-sifat efektif, intelektual dan tindakan individu, dan (2) kondisi khusus individu didalam pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan, untuk mengerti kepemimpinan perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan motif pemimpin sebagai manusia biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat sekelompok orang yang dia pimpin dan motifnya mengikuti dia, (3) penampilan peran harus dimainkan sebagai pemimpin, dan (4) kaitan kelembagaan melibatkan dia dan pengikutnya (Hocking & Boggardus, 1994).

Beberapa pendapat tersebut, apabila diperhatikan dapat dikategorikan sebagai teori kepemimpinan dengan sudut pandang "Personal-Situasional". Hal ini disebabkan, pandangannya tidak hanya pada masalah situasi yang ada, tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori Interaksi Harapan. Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan sentimen. Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan kejelasan dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok, maka aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas, dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi.

Pada tahun 1957 Stogdill mengembangkan Teori Harapan-Reinforcement untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang dilakukan. Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah.

Atas dasar teori diatas, House pada tahun 1970 mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Motivasional. Fungsi motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkahlaku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Efektif. Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku pemimpin tergantung dari hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin yang memiliki orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi. Semakin sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas kepemim-pinan makin tinggi.

Teori kepemimpinan berikutnya adalah Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan "motivated organism". Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).

Teori kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan adalah Teori Perilaku Kepemimpinan. Teori ini menekankan pada apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Dikemukakan, terdapat perilaku yang membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil menemukan perilaku khas yang menunjukkan keberhasilan seorang pemimpin, maka implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus menjawab pendapat, pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk menjadi pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu proses belajar.

Selain teori-teori kepemimpinan yang telah dikemukakan, dalam perkembangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para pakar maupun praktisi adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan pengikut yaitu pola kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan pendapat seorang ilmuwan di bidang politik yang bernama James McGregor Burns (1978) dalam bukunya yang berjudul “Leadership”. Selanjutnya Bass (1985) meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai teori, lengkap dengan model dan pengukurannya.

Kepemimpinan Dalam SANKRI

a. Perkembangan lingkungan stratejik.

Kondisi lingkungan kehidupan bangsa kita pada dekade-dekade akhir Abad 20 dan dekade-dekade awal Abad 21 sebagaimana bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia, menghadapi gelombang besar berupa meningkatnya tuntutan demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi. Sekalipun events serupa pernah terjadi pada berbagai kurun waktu dalam sejarah kemanusiaan dan peradaban manusia, namun dewasa ini tuntutan tersebut mengemuka dengan nuansa yang berbeda sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam beberapa dekade terakhir di Abad 20, gelombang demokratisasi telah terjadi di Uni Soviet, Yugoslavia, dan RRC. Dalam sejarah kontemporer, Indonesia telah mengalami dua kali. Yang pertama bahkan mendahului Uni Soviet, Yugoslavia, dan RRC; yang kedua di ujung Abad 20 dan permulaan Abad 21 ini.

Ketiga tuntutan tersebut dengan berbagai implikasi dan konsekwensinya harus kita perhatikan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa dewasa ini dan di masa datang. Sampai di mana kesiapan kita dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan internal dan eksternal tersebut?.

3

Apabila kita simak secara lebih dalam, dengan jujur harus kita benarkan kesimpulan yang menyatakan bahwa “bangsa kita tidak terlalu siap dalam menghadapi tuntutan demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi” itu. Demokratisasi yang terjadi telah diwarnai dengan euforia kebebasan yang berlebihan, dan diisi dengan pertentangan antar elit politik secara menyedihkan, serta berkembangnya new-CCN. Desentralisasi tidak terencana secara baik, pelimpahan kewenangan terasa tanpa didasari perhitungan dan persiapan yang matang, peningkatan pelayanan prima yang merupakan salah satu tujuan utama dari otonomi masih jauh dari kenyataan. Globalisasi yang menuntut peningkatan daya saing ditandai dengan semakin merosotnya tingkat daya saing nasional dalam perekonomian dunia. Bangsa kita terasa masih tenggelam dengan permasalahan yang timbul sebagai akibat kesalahan mendasar yang dibuatnya sendiri; khususnya yang dilakukan para pemimpinnya.

Kita fahami, demokrasi merupakan pilihan terbaik dalam penyelenggaraan negara yang pernah dihasilkan sejarah kemanusiaan dan peradaban manusia. Oleh sebab itu demokratisasi harus disertai semangat dan nilai-nilai peradaban yang luhur dan sesuai fitrah manusia. Demokrasi memang mengandung makna kebebasan dan optimalitas pelaksanaan hak-hak asasi manusia dari, oleh, dan bagi seluruh warga bangsa dan bangsa-bangsa, tanpa membedakannya berdasar latar belakang etnik, agama, ideologi, ataupun domisili. Demokrasi adalah pencapaian konsensus atau kebersamaan dalam keragaman atau pluralitas. Demokratisasi adalah debat mengenai kepentingan bersama, bukan konflik berkepanjangan demi kepentingan pribadi atau golongan. Demokratisasi adalah menghargai keputusan bersama sebagai hasil musyawarah ataupun perdebatan rasional melalui lembaga-lembaga demokrasi. Demokrasi adalah suatu bentuk “rational human cooperation” dengan sistem kelembagaan yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berkeadilan; serta “keadaban” berupa kepatuhan pada keputusan bersama yang diambil secara objektif, rasional dan manusiawi melalui sistem kelembagaan yang berkembang dalam penyelenggaraan negara sebagai wujud penghargaan terhadap pluralitas. Namun, yang berkembang kelihatannya bukan “kerjasama yang rasional dan manusiawi” melainkan konflik, desintegrasi, dan perilaku yang seakan tidak mencerminkan pemahaman akan nilai-nilai peradaban demokrasi yang luhur.

4

Dari sudut falsafah dan ilmu pengetahuan administrasi negara, demokrasi adalah keariefan (wisdom) dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan umum dan pem-bangunan; yang termanifestasikan dalam pengelolaan kebijakan pemerintahan (public policy) untuk mengatasi masalah-masalah publik (public affairs) dan untuk mengoptimalkan pencapaian kepentingan publik (public interests), termasuk pertanggung-jawaban kinerja kebijakan tersebut. Ini yang kiranya kurang dipahami.

Desentralisasi sebagai perwujudan nyata pelaksanaan otonomi, yang dalam UU No 22 dan 25 Tahun 1999 ditandai dengan pelimpahan kewenangan yang luas dan nyata pada Kabupatan/Kota. Seperti demokrasi, desentralisasi juga merupakan pilihan terbaik dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, karena menjanjikan terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan yang lebih efisien dan demokratis. Sebab dengan adanya hak, kewajiban dan wewenang mengurus rumah tangga daerah oleh daerah, maka jarak berbagai pelayanan publik dan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan bertambah dekat. Artinya kita mengharapkan bahwa dengan otonomi dan desentralisasi maka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan akan berlangsung lebih efisien, berkualitas, efektif, demoktatik, dan berkeadilan. Terselenggaranya pelayanan prima dan pengelolaan kebijakan secara konsisten, efisien, dan efektif sebagai peran dan fungsi penting pemerintahan merupakan hakikat dasar yang ingin dicapai dari penyelenggaraan otonomi daerah itu masih jauh dari kenyataan.

Kita yakin, apabila pelayanan publik sudah dapat terselenggara secara prima dan pengelolaan kebijakan telah terselenggara secara arief dan efektif juga dapat dilaksanakan oleh aparatur pusat dan daerah secara konsisten, maka daya saing juga akan mengalami peningkatan. Namun, agaknya itulah yang kiranya belum dapat kita penuhi secara optimal.

Globalisasi yang menyentuh berbagai bidang kehidupan di seluruh wilayah pemerintahan negara, menuntut reformasi sistem perekonomian dan pemerintahan, termasuk birokrasinya, sehingga memungkinkan interaksi perekonomian antar daerah dan antar bangsa berlangsung lebih efisien. Kunci keberhasilan pembangunan perekonomian adalah daya saing; dan kunci daya saing adalah efisiensi proses pelayanan, serta mutu, ketepatan dan kepastian kebijakan publik. Pengelolaan pelayanan dan kebijakan secara prima akan meningkatkan daya tarik investasi, wisata, arus perdagangan, dan kegiatan-kegiatan produktif lainnya. Hal tersebut juga merupakan prasyarat bagi peningkatan daya saing perekonomian daerah dalam sistem ekonomi nasional dan internasional. Dalam realitasnya, dewasa ini daya saing Indonesia semakin terpuruk.



5


Liberalisasi perekonomian yang menandai gelombang globalisasi sejak dekade-dekade terakhir abad 20, serta krisis multi dimensi yang melanda kehidupan bangsa dan negara kita di awal abad 21 sekarang ini, bukan saja menuntut peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan, tetapi juga kemampuan dalam pengelolaan kebijakan publik secara arif dan efektif ke arah pemulihan perekonomian, integrasi nasional, serta peningkatan ketahanan daya saing perekonomian bangsa. Oleh karena itu dinamika perkembangan tersebut mensyaratkan kompetensi yang tinggi, tanggung jawab yang besar dari seluruh unsur aparatur negara dan segenap warga negara, serta pemahaman yang mendalam mengenai posisi, peran, dan kewenangan masing-masing dalam sistem dan proses kebijakan serta dalam sistem administrasi negara kesatuan kita.

Dalam upaya menghadapi berbagai tantangan tersebut salah satu prasyarat yang perlu dikembangkan adalah komitmen yang tinggi untuk menerapkan nilai-nilai luhur peradaban bangsa dan prinsip-prinsip “good governance” dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Sementara itu, otonomi daerah dengan desentralisasi kewenangan yang besar dan luas pada Kabupaten/Kota sebagai koreksi sentralisme kekuasaan masa lalu, yang diharapkan mampu meningkatkan tanggung jawab dan efisiensi, mutu, serta efektivitas pelayanan dan pengelolaan kebijakan, dalam prakteknya dewasa ini masih belum terselenggara secara memadai. “Euforia” demokrasi terasa juga mewarnai dinamika otonomi yang seakan menjauhi makna desentralisasi dan tanggung jawab otonomi dalam negara kesatuan. Kewenangan lokal seakan telah menghilangkan kewenangan koordinasi regional, sedangkan kewenangan sentral dianggap menyimpang dari semangat otonomi. Sebagai akibatnya yang bermunculan adalah fenomena-fenomena konflik kepentingan lokal yang melemahkan terwujudnya keserasian dan keterpaduan kebijakan (pada suatu daerah, antar daerah, dan antara kebijakan nasional dan daerah) yang diperlukan untuk mencapai cita-cita dan tujuan bangsa bernegara secara optimal. Semua itu menimbulkan kesan bahwa kita semua, seluruh unsur aparatur negara, telah mengabaikan atau melupakan keberadaan kita dan tanggung jawab kita masing-masing dalam SANKRI.

6

Karena itu dalam menghadapi berbagai tantangan demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, dan krisis multi demensi, dengan berbagai permasalahan yang demikian kompleks, diperlukan suatu dasar pendekatan bersama atau paradigma di mana setiap “stakeholders” dapat beranjak, dan selanjutnya menyusun strategi, program, dan instrumen-instrumen kebijakan untuk menghadapi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Sebagaimana kita pahami administrasi negara menekankan kerjasama yang rasional dan manusiawi sebagai fenomena essensial yang menjadi fokus perhatian ilmu pengetahuan dan praktik administrasi negara. Dalam hubungan itu, SANKRI sebagai sistem penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa merupakan wahana perjuangan bangsa untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI. Ini mengandung makna bahwa SANKRI merupakan media transformasi nilai, di mana kualifikasi segenap unsur SDM utamanya unsur pimpinan dalam berbagai lembaga pemerintahan negara dan masyarakat bangsa, akan menentukan keberhasilan perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara. Upaya tersebut dikembangkan melalui pengelolaan kebijakan publik dan pelayanan publik yang prima, sesuai dengan pinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, dan dengan dimensi-dimensi nilai dalam SANKRI dan disiplin administrasi negara, di mana posisi, peran, hak, dan kewajiban warga negara dan masyarakat bangsa dijunjung tinggi.

Dalam hubungan itu kita pahami bahwa betapapun baiknya suatu sistem administrasi negara, apabila komitmen dan kompetensi SDM utamanya kualifikasi kepemimpinannya kurang sesuai dengan tuntutan keadaan dan perkembangan, maka proses penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tidak akan berlangsung dan mencapai tujuan secara baik dan optimal. Sebab itu ada baiknya apabila perhatian juga kita curahkan pada berbagai aspek bertalian dengan sistem kepemimpinan dlama SANKRI, sebagai berikut.

b. Sistem Kepemimpinan Nasional

Kepemimpinan nasional dalam SANKRI diartikan sebagai sistem kepemimpinan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, meliputi berbagai unsur dan struktur kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan pemerintahan negara dan masyarakat bangsa, yang berperan mengemban misi perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI sesuai posisi masing-masing dalam pemerintahan dan masyarakat, menurut nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan yang diamanatkan konstitusi negara.

Secara struktural, kepemimpinan nasional terdiri dari pejabat lembaga-lembaga pemerintahan negara dan pimpinan lembaga-lembaga yang berkembang dalam masyarakat bangsa, yang secara fungsional berperan dan berkewajiban memimpin orang dan atau lembaga yang dipimpinnya dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara, karenanya baik secara individual maupun institusional harus senantiasa menjaga konsistensinya dengan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara dan bangsa.

Pimpinan menunjukkan seorang atau sekelompok orang yang mempunyai suatu jabatan dengan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab yang melekat pada jabatannya. Sedangkan pemimpin adalah sosok yang memiliki kemampuan dalam memberikan inspirasi, memandu, mengembangkan kompetensi, mendorong, ataupun mengkoreksi kepada kelompoknya dalam mengemban tugas mencapai tujuan bersama. Hal ini menuntut visi dan kemampuan untuk memandu dan berkarya ke arah perwujudan visi tersebut. Dengan demikian kepada para pejabat pimpinan dalam SANKRI dalam mengemban tugasnya dituntut untuk memiliki kemampuan memberikan inspirasi dan mengembangkan kebijakan yang dapat menggerakkan masyarakat bangsanya melakukan kegiatan mencapai tujuan nasional sesuai nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara bangsa.

Bicara tentang kepemimpinan nasional, tidak terlepas dari prinsip dasar yang berlaku umum bahwa pertama adanya kepemimpinan berarti adanya hubungan antara pemimpin dan pengikut, dan kedua pemimpin yang efektif menyadari dan mengelola secara baik dinamika hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Apa yang diyakini pengikut mengenai kepemimpinan mencerminkan nilai, kepribadian dan apa yang menjadi perhatian pemimpin terhadap aspirasi dan kebutuhan pengikut atau pihak yang dipimpin. Pengikut dalam pengertian ini di satu pihak adalah rakyat dan kedua adalah para birokrat, atau anggota birokrasi sebagai SDM Aparatur.

Kepemimpinan nasional dalam SANKRI sebagai pimpinan yang diakui dan diterima sebagai pemimpin, adalah sosok yang mampu memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat Indonesia secara keseluruhan dan menghayati nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat Indonesia, agar mempunyai kemampuan memberikan inspirasi kepada bangsa Indonesia dan mempunyai visi yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Figur yang demokratis, kuat dan efektif, serta mampu memahami berbagai kebutuhan dan aspirasi bangsa Indonesia yang heterogen, sehingga dalam tindakannya tidak menyeragamkan pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia yang beraneka ragam kebutuhan dan aspirasinya itu. Selain itu yang lebih penting lagi, segala tindakan dan kebijakannya haruslah dilandasi dengan nilai-nilai luhur kebangsaan dan perjuangan bangsa secara utuh.

Kepemimpinan nasional dalam SANKRI dalam tataran pimpinan birokrasi bersikap bersedia percaya kepada para birokrat bawahannya karena hal itu adalah satu-satunya hal yang dapat memberi para birokrat rasa percaya diri, tetapi sikap ini harus dikombinasi dengan sikap skeptis yang logik, sikap rendah hati untuk menerima bahwa orang kadang-kadang bisa salah, dan bahwa orang lain juga mempunyai gagasan. Oleh karena itu sikap tersebut harus dilengkapi dengan keyakinan bahwa mendengar adalah sama pentingnya dangan berbicara. Motivasi yang tinggi bagi kepemimpinan nasional dalam melaksananakan tugas harus dikombinasi dengan suatu kesadaran bahwa masing-masing birokrat mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing yang berbeda-beda. Oleh karena itu sikap ini harus dikombinasi dengan sikap bisa nencintai orang lain.

Kepemimpinan nasional dalam SANKRI dituntut mampu memberikan pengayoman dan inspirasi kepada rakyat Indonesia termasuk para birokrat dalam mencapai tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Selain itu dituntut menghayati visi Indonesia sebagaimana termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/ 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

Pasal 1 Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 menyebutkan: Visi Indonesia Masa Depan terdiri dari tiga visi, yaitu:

1) Visi Ideal, yaitu cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Visi Antara, yaitu Visi Indonesia 2020 yang berlaku sampai dengan tahun 2020.

3) Visi Lima Tahunan, sebagaimana termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.

c. Visi Bangsa

Pengertian visi menurut Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 adalah wawasan ke depan yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu. Visi bersifat kearifan intuitif yang menyentuh hati dan menggerakkan jiwa untuk berbuat. Visi tersebut merupakan sumber inspirasi, motivasi dan kreativitas yang mengarahkan proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masa depan yang dicita-citakan.

Visi merupakan pedoman bagi penyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan publik, dalam rangka mencapai cita-cita nasional. Dengan ditetapkannya rumusan visi Indonesia maka para penyelenggara negara baik di tingkat pengambil keputusan maupun di tingkat pelaksana telah mempunyai pedoman dalam membawa bangsa Indonesia mencapai cita-cita nasionalnya.

Dalam Bab IV Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 disebutkan : Visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Selanjutnya dalam Bab V: Menugaskan kepada semua penyelenggara negara untuk menggunakan Visi Indonesia 2020 sebagai pedoman dalam merumuskan arah kebijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena Visi Indonesia didasari dan diilhami oleh cita-cita dan tujuan luhur yang telah digariskan para pendiri negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, maka para penyelenggara negara baik secara institusional maupun secara individu, di tingkat pengambil keputusan maupun di tingkat pelaksanaa, dalam setiap kebijakan yang kembangkannya untuk membangun bangsa Indonesia, tidak boleh meninggalkan nilai-nilai dari Pancasila.

d. Kompetensi SDM Aparatur

Sebagaimana telah diuraikan, kompetensi memiliki banyak pengertian yang masing-masing menyoroti aspek dan penekanan yang berbeda. Pengertian kompetensi yang diajukan oleh masing-masing pengamat banyak didasarkan pada hasil penelitian dan atau pengamatan. Namun pada dasarnya terdapat suatu kesepakatan umum mengenai elemen kompetensi yang terdiri dari pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan tingkah laku (personal atributs). Dengan demikian secara umum, kompetensi diartikan sebagai tingkat ketrampilan, pengetahuan dan tingkah laku yang dimiliki oleh seorang individu dalam melaksanakan tugas yang ditekankan kepadanya dalam organisasi.

Peraturan Pemerintah No. 101/2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, menjelaskan pengertian konsep kompetensi adalah kemampuan dan karaktersitik yang dimiliki oleh seorang PNS, berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap prilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.

Dengan melihat definisi yang dikemukakan, maka kompetensi SDM aparatur dalam konteks penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diklasifikasikan dalam empat jenis kompetensi, yaitu:

Kompetensi Teknis (Technical Competence), yaitu kompetensi mengenai bidang yang menjadi tugas pokok organisasi. Kompetensi teknis ini misalnya dalam hal mengoperasionalisasikan sistem prosedur kerja yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan dan tugas instansi, atau dalam menerapkan sistem dan prinsip-prinsip akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan unit organisasinya, termasuk bagaimana melaksanakan keseluruhan kegiatan-kegiatan pengelolaan kebijakan dan program termasuk pelaporan pertanggung-jawabannya.

Kompetensi Manajerial (Managerial Competence), adalah kompetensi yang berhubungan dengan berbagai kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas-tugas organisasi. Kompetensi manajerial ini meliputi antara lain dalam hal kemampuan menerapkan konsep dan teknik perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, dan evaluasi kinerja unit organisasi, juga kemampuan dalam hal melaksanakan prinsip-prinsip good governance dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan, termasuk bagaimana mendayagunakan kemanfaatan sumber daya pembangunan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas.

Kompetensi Sosial (Social Competene) yaitu kemampuan melakukan komunikasi yang dibutuhkan oleh organisasi dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Kompetensi sosial dapat terlihat di lingkungan internal seperti memotivasi SDM dan atau peran serta masyarakat guna meningkatkan produktivitas kerja, atau yang berkaitan dengan lingkungan eksternal seperti melaksanakan pola kemitraan, kolaborasi, dan pengembangan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dalam rangka meningkatkan citra dan kinerja organisasi, termasuk di dalamnya bagaimana menunjukkan kepekaan terhadap hak-hak asasi manusia, nilai-nilai sosial budaya, dan sikap tanggap terhadap aspirasi dan dinamika masyarakat.

Dari beberapa pandang mengenai kepemimpinan dan manajemen dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sekalipun keduanya dapat dibedakan menurut pengertian dan peran masing-masing, namun tak dapat dipisahkan. Tidak akan ada suatu kepemimpinan yang berhasil, tanpa disertai kemampuan manajemen yang mantap. Di Abad 21, diperlukan kepemimpinan yang memiliki kemampuan memadukan kompetensi kepemimpinan dan manajemen secara berkeseimbangan; kepemimpinan hanya mungkin efektif apabila disertai kemampuan manajemen yang teruji.

Dari berbagai perkembangan pengetahuan, teori, dan paradigma kepemimpinan di atas, dapat disimpulkan adanya 3 faktor yang berpengaruh terhadap suksesnya pemimpin, yaitu : karakteristik pemimpin, kondisi orang-orang yang dipimpinnya, dan perkembangan lingkungan. Dari ketiga faktor tersebut penting untuk diperhatikan adalah menyangkut sosok manusia yang menjadi fokus perhatian. Hal tersebut utamanya mengandung makna, bahwa dalam memilih pimpinan haruslah terlebih dahulu diperhatikan atau dilihat sejauh mana karakteristik seseorang calon pemimpin memiliki aspek kemanusiaan yang patut untuk dijadikan sebagai pemimpin sehingga berhasil secara arief, efektif, dan produktif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi lingkungannya atau pun dalam mencapai tujuan yang diharapkan bangsa atau orang-orang yang dipimpinnya. Efektifitasi kepemimpinan akan dipengaruhi oleh ketepatan kombinasi antara gaya, tipologi, dan model kepemimpinan yang dikembangkan si pemimpin dalam menghadapi perkembangan lingkungan dan kondisi orang-orang yang dipimpinnya. Hal tersebut sangat di-pengaruhi oleh kompetensi kepemimpinan.

Perlu ditegaskan bahwa agar organisasi tetap mampu bersaing, para pemimpin harus menciptakan suatu bangunan sosial yang mampu menghasilkan modal intelektual atau kekuatan pikiran. Kepemimpinan akan menjadi asset Abad 21 yang sangat berharga. Kita harus menginvestasikannya dengan bijak bagi generasi sekarang dan masa datang. Para pemimpin harus bersedia berbagi semangat dan keahlian yang dimiliki dalam memberdayakan orang lain, supaya menjadi pemimpin yang efektif.

Para pemimpin Abad 21 sebaiknya dapat menjadi inspirasi bagi anak buahnya sehingga memacu potensi manusiawi mereka yang besar, menantang gagasan konvensional, mengambil resiko dalam upaya mengejar sasaran dan impian, menciptakan antusiasme kesempurnaan, dan memfokuskan diri pada visi yang memimpin organisasi maupun negara kita serta merangkul umat manusia.

Kunci untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan, adalah keberanian untuk hidup berdasarkan visi yang kuat. Salah satu tema visi yang paling sering dijumpai, yaitu membuat perbedaan dalam artian keunggulan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah serangkaian harga diri, nilai-nilai yang di dasarkan pada standar kesempurnaan tertinggi yang mungkin diraih. Sebagian nilai yang paling memiliki sifat pemberdayaan diri adalah integritas, kejujuran, kepercayaan, sikap optimis, tanggungjawab pribadi, menghormati semua orang, dan terbuka terhadap perubahan. Nilai-nilai ini membawa dampak mendalam terhadap kesehatan, kemakmuran, dan kesuksesan hidup kita.
Kepemimpinan yang dibutuhkan pada Abad 21 juga menghadirkan kombinasi dari konsep kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan transaksional, dengan dilengkapi keunggulan prima (superleadership) dan mampu mengelola multibudaya (multicultural leadership), yang dengan demikian ia akan mampu hidup dan berkembang serta eksis dalam lingkungan yang hiperkompetisi.

LAMPIRAN

Gambar 1. Perilaku Pemimpin Kontinum

(Sumber : Hersey dan Blanchard, 1992)



Text Box:

Gambar 2. Kuadran Kepemimpinan Universitas Ohio

(Sumber : Hersey dan Blanchard, 1992)



Text Box:

Gambar 3. Kepemimpinan menurut Teori Managerial Grid

(Sumber : Hersey dan Blanchard, 1992)

Text Box: Perhatian pada Orang

9

8

1.9

Country Club

9.9

Team

7

5.5

Middle of the Road

6

5

4

1.1

Improverished

9.1

Task

3

2

1

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9






















Perhatian Pada Tugas (Produksi)

Gambar 4. Gaya Kepemimpinan yang sesuai dalam berbagai situasi kelompok

(Sumber : Hersey dan Blanchard, 1992)



Text Box:


Gambar 5. Model Kepemimpinan Tiga Dimensi

(Sumber : Hersey dan Blanchard, 1992)



Text Box:


Gambar 6. Saling Hubungan Manajemen dan Kepemimpinan

Berdasarkan Fungsi dan Aktivitasnya


Kepemimpinan/ Manajemen

Instrumentasi Fungsi melalui Keputusan

Azas

1

2

3

Kepemimpinan dengan fungsi Penanggulangan Perubahan

1. Penetapan Arah (Visi)

· Strategi pencapaian visi

2. Penggalangan Orang

· Mengkomunikasikan arah/visi

· Menciptakan koalisi dan komitmen

3. Memotivasi dan mengamati

· Mengupayakan semua orang bekerja di jalur yang benar

· Visioner

· Motivator

· Penggalang

· Empowerment

· Induktif

· Komunikator

· Imajiner

· Craftmanship

· Organizational learning

· Parsipatory developer

· Directive,

· Persistance,

· Consistance

· and Focus

· Pandangan luas

· Risk taker

· Team builder

· Inspirational

· Drivenman

Manajemen dengan Fungsi Penanggulangan Kompleksitas

1. Perencanaan dan Penganggaran

· Target dan Sasaran

· Penetapan langkah terinci pencapaian target

· Pengalokasian resource untuk rencana

2. Pengorganisasian dan Staffing

· Struktur organisasi

· Penjabaran tugas-tugas

· Pengangkatan orang-orang pada tugas/jabatan

· Mengkomunikasikan rencana

· Mendelegasikan tanggung jawab

· Menetapkan sistem penataan

3. Pengawasan dan pemecahan masalah

  • Penataan formal dan informal
  • Sistem pelaporan
  • Sistem evaluasi
  • Sistem pemecahan masalah

· Deduktif

· Planner

· Budgeter

· Analis organisasi

· Evaluation expertise

· Using controls to enforce per-formance

· Efisien dan Efektif

· Arsitektural

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, 2000, Manajemen Bisnis.Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Arnold, MJ and K.E Reynold, 2003, Hedonic Shopping Motivations, Journal of Retailing, Vol 79, pp 75-79

Arumann, The New Marketing Plan, Majalah Mix, Edisi 25, September 2006

Beberapa Dimensi Dan Dinamika Kepemimpinan Abad 21, oleh Prof .Dr. Mustopadidjaja AR, Tahun 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar