30 Juni 2009

PERFORMANCE APPRAISAL

Bahasa indonesianya penilaian kinerja. Kita biasa menyebutnya dengan performance appraisal (PA). Menurut kamus wikipedia, pengertian Performance appraisal adalah sebagai berikut: a method by which the performance of an employee is evaluated (generally in terms of quality, quantity, cost and time). The roots of performance appraisal can be found in Frederick Winslow Taylor’s time and motion study[citation needed]. Performance appraisal is a part of career development.

Berdasarkan beberapa curhatan yang masuk, beberapa permasalahan yang dirasakan oleh karyawan dalam penilaian kinerja antara lain:


1. Karena panjangnya jangka waktu dalam PA, terkadang penilaian menjadi bias. Rusak susu sebelanga karena nila setitik ibaratnya. Setelah berjuang mati-matian di 11 bulan pertama, menjelang PA kita melakukan kesalahan yang ternyata menjadi concern atasan. Langsung deh drop penilaian buat kita.


2. Atasan dalam memberikan penilaian dirasakan nggak fair alias atas dasar like or dislike.. Meskipun hal semacam ini sudah di cover seperti adanya penilaian 360 degree, sehingga yang melakukan penilaian melibatkan orang-orang dari berbagai bagian dan tingkatan di sekeliling pegawai yang dinilai, seperti misalnya bawahan, rekan-kerja dan atasan yang dinilai.


3. Performance appraisal yang diselenggarakan tidak mampu benar-benar membedakan mana yang perform dan mana yang biasa-biasa saja.
Mau yang bagus kek, yang biasa-biasa aja kek.. semua nilainya B. Cuma ada yang B kurus, ada yang B gemuk. Efeknya ?? Nggak ngaruh juga.. persentase kenaikan gaji sama, besar bonus juga sama..



4. “PA ? Ah.. cuma buat kepentingan perusahaan doang? Karyawan udah capek-capek kerja, mesti ngisi-ngisi form begituan.. Ngabis-ngabisin waktu aja”. Saya pernah mendengar komentar seperti ini ketika ditanya pendapatnya mengenai self assessment yang harus dilakukannya berkaitan dengan pelaksanaaan PA.



Padahal, PA yang efektif akan dapat menjamin bukan hanya bagi pencapaian target dan kinerja dalam organisasi, tetapi juga berguna bagi pengembangan karyawan sendiri. Pengembangan karir (baik dari sisi grade maupun salary), bonus tahunan, maupun rencana training bagi karyawan.

Tidak jarang para karyawan merasa kecewa karena dinilai tidak memiliki kinerja yang standar. Mereka menganggap telah terjadi manipulasi data oleh penilai. Bisa saja itu terjadi kalau penilaian kinerja terhadap karyawan dilakukan dengan ukuran subyektif. Dengan kata lain terjadi peluang munculnya bias. Di sini, bias merupakan distorsi pengukuran yang tidak akurat. Meskipun pelatihan bagaimana melakukan penilaian kerja dapat mengurangi bias, maka bias sering terjadi ketika penilaian tetap tidak lepas dari unsur emosional para penilai. Bentuk bias penilai meliputi hal – hal berikut.

Hallo Effect

Bias ini terjadi ketika opini personal penilai terhadap karyawan mempengaruhi ukuran kinerja. Sebagai contoh, jika seorang penilai menyukai seorang karyawan, maka opini tersebut bisa jadi mengalami distorsi estimasi terhadap kinerja karyawan itu. Masalah ini sering meringankan atau memberatkan ketika para penilai harus menilai karakter kepribadian teman–teman mereka, atau seseorang yang sangat tidak disukainya.

Kesalahan Kecenderungan Penilaian Berlebihan

Beberapa penilai tidak menyukai untuk menilai karyawan apakah dalam kondisi efektif atau dalam kondisi rata–rata. Dalam bentuk penilaian, distorsi ini menyebabkan para penilai untuk menghindari penilaian ekstrem, seperti nilai amat buruk dan sempurna. Sebagai gantinya mereka menempatkan angka–angka penilaiannya dekat dengan rata–rata. Inilah yang disebut bias atau kesalahan menilai. Padahal ini mengakibatkan kerugian pada karyawan yang memang secara obyektif memiliki kinerja tinggi.

Bias Kemurahan dan Ketegasan Hati

Bias kemurahan hati terjadi ketika para penilai cenderung begitu mudah dalam menilai kinerja para karyawan. Beberapa penilai melihat semua karyawan adalah baik dan memberikan penilaian yang menyenangkan. Bias ketegasan hati merupakan hal yang sebaliknya. Hal itu merupakan hasil dari para penilai yang begitu keras dalam evaluasinya. Sering disebut “kikir” dalam menilai. Kedua bentuk bias ini lebih umum terjadi ketika standar kinerja tidak jelas.

Bias Lintas Budaya

Tiap penilai memiliki harapan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada budayanya. Ketika orang–orang diharapkan untuk mengevaluasi yang lainnya dari kultur yang berbeda, mereka mungkin menggunakan harapan budayanya kepada seseorang yang memiliki kepercayaan atau perilaku yang berbeda. Dengan keragaman budaya yang lebih besar dan tingginya mobilitas karyawan melintas batas internasional, sumber bias potensial menjadi lebih mungkin muncul.

Prasangka Personal (Contrast Effect)

Ketidaksukaan penilai terhadap sebuah kelompok orang dapat mendistorsi penilaian yang orang terima. Sebagai contoh, beberapa departemen SDM telah memperhatikan penyelia pria boleh jadi memberikan penilaian rendah yang tidak semestinya diberikan pada perempuan yang memegang pekerjaan atau jabatan yang secara tradisi dipegang kaum laki–laki. Kadang–kadang para penilai tidak sadar akan prasangkanya, dan hal ini membuat bias lebih sulit untuk dibatasi. Meskipun demikian, para ahli hendaknya memberi perhatian dalam membuat pola penilaian tanpa adanya unsur prasangka. Prasangka akan mengabaikan penilaian efektif dan dapat melanggar hukum antidiskriminasi. Hal ini akan melanggar persamaan hak dalam pekerjaan.

Bagaimana mengurangi bias penilai? Manakala ukuran kinerja yang subyektif harus digunakan, bias dapat dikurangi melalui pelatihan, umpan balik, dan teknik seleksi kinerja yang lebih baik. Ada tiga langkah pelatihan untuk para penilai, yaitu (1) bias dan penyebabnya harus jelas, (2) peranan keputusan tentang penilaian kinerja terhadap karyawan harus dijelaskan untuk menekankan kebutuhan akan kejujuran dan obyektif, dan (3) jika ukuran–ukuran subyektif digunakan, para penilai harus menggunakannya sebagai bagian dari pelatihan. Sebagai contoh, pelatihan di ruang kelas membutuhkan evaluasi terhadap pelatih atau video-tape untuk menunjukkan situasi pekerja dan pekerjaan. Kesalahan kesalahan yang tidak kelihatan selama evaluasi simulasi kemudian dapat dibetulkan melalui tambahan pelatihan atau konseling.

Sekali ukuran subyektif telah dibahas dan masuk dalam praktik, para penilai harus memperoleh umpan balik tentang penilaian sebelumnya. Apakah penilaian terbukti secara relatif akurat atau tidak akurat. Umpan balik akan membantu para penilai menilai perilaku mereka secara lebih tepat. Departemen SDM juga dapat mengurangi distorsi melalui penyeleksian teknik penilaian kinerja yang hati–hati. Fokusnya pada teknik penilaian terhadap kinerja masa lalu dan kinerja masa depan. Umpan balik dapat terjadi ketika yang dinilai berhak untuk memprotes jika hasil penilaiannya dianggap tidak adil.

Sumber :

http://ronawajah.wordpress.com/2008/02/22/bias-penilaian-kinerja/

http://www.whatisallabout.com/performance-appraisal-yang-efektif-mungkinkah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar